Dilihat dari luar, tumpukan buku menutupi jendela sebuah rumah di Kiev, Ukraina. Pemandangan itu dipotret oleh Lev Shevchenko, kemudian tersebar di dunia maya, termasuk di situs web The Guardian (10/3/2022). Bukan untuk dibaca, buku-buku itu ditempatkan sedemikian rupa sebagai barikade.
Saat damai, buku adalah jendela dunia. Ketika perang berkecamuk, buku jadi penghalang di jendela rumah. Apa gunanya? Untuk melindungi penghuni dari pecahan kaca kalau ada bom meledak. Ironis.
Sejauh ini, berita utama seputar serangan militer Rusia ke Ukraina menyoroti kekhawatiran akan gangguan pasokan energi dan pangan. Dampaknya terhadap dunia perbukuan kurang diperhatikan. Padahal, buku berperan penting dalam menjaga kewarasan manusia di tengah kegilaan perang.
Seiring konflik yang memanas, Ukraina tampaknya ingin menghapus Rusia dari khazanah pustaka mereka. Sebaliknya, Rusia tidak mau negara tetangganya itu memiliki wajah budaya yang bebas dari bayang-bayang “Tirai Besi”. Siapa yang jadi korban? Rakyat yang membutuhkan pengetahuan utuh dan saling melengkapi—walaupun seperti bertentangan—lewat beragam buku.
Ombudsman Hak Asasi Manusia Ukraina Lyudmyla Leontiyivna Denisova melaporkan hampir 60 perpustakaan di wilayah Ukraina yang menjadi sasaran Rusia rusak dan hancur. Menurutnya, tentara Rusia juga menyita dan menghancurkan buku sejarah dan sastra Ukraina (International Business Times, 26/5/2022).
Ukraina juga menganggap buku sebagai “senjata budaya” Rusia yang berbahaya. Setelah Negeri Beruang Merah itu mencaplok Krimea pada tahun 2014, pemerintah Ukraina mempersempit ruang gerak peredaran buku Rusia. Mereka berdalih ingin melindungi rakyat Ukraina dari penyimpangan informasi dan melawan ideologi kebencian, fasisme, serta separatisme. Oleh karena itu, mereka melarang peredaran 38 judul buku dari Rusia pada tahun 2015.
Pada Desember 2016, Presiden Ukraina saat itu, Petro Oleksiyovych Poroshenko, melarang impor buku dari Rusia. Penerbit-penerbit asal Rusia yang menguasai 50% lebih pasar buku Ukraina pun terpaksa “tiarap”. Sembilan bulan kemudian, pemerintah Ukraina melonggarkan peraturan itu dan hanya melarang buku yang terang-terangan mengandung propaganda Rusia, mendukung komunisme, menyulut perpecahan Ukraina, serta memuat gagasan Ukraina sebagai “Rusia Kecil” (Publisher Weekly, 25/2/2022).
Tidak dimungkiri, larangan itu membangkitkan gairah penulisan dan penerbitan buku lokal di Ukraina. British Council (2021) mencatat jumlah judul buku yang diterbitkan di sana meningkat dari tahun ke tahun sejak 2014. Secara keseluruhan, 24.416 judul diterbitkan pada tahun 2019. Sebagian besar, tepatnya 18.142 judul, berbahasa Ukraina dan 7.895 judul berupa buku pelajaran. Laporan lembaga itu menyebutkan sebanyak 1.280 penerbit terdaftar di Ukraina, tetapi hanya sekitar 300 yang aktif.
Industri penerbitan buku di Ukraina terpuruk selama pandemi Covid-19. Menurut Ketua Asosiasi Penerbit dan Penjual Buku Ukraina Oleksandr (kadang ditulis Alexander) Afonin, jumlah judul buku yang diterbitkan pada tahun 2020 merosot 31%, sementara jumlah keseluruhan eksemplar buku yang beredar di pasar anjlok 58% dibandingkan tahun sebelumnya. Penjualan secara daring yang meningkat 30–40% tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat penjualan secara langsung di toko buku turun 50% lebih (Publisher Perspectives, 27 Januari 2021).
Pandemi berangsur reda. Penerbit buku di negara lain bersiap untuk bangkit. Namun, penerbit di Ukraina malah mengalami keadaan semakin buruk setelah Rusia memulai operasi militer khusus (24/2/2022).
Serangan pertama Rusia langsung menyasar Kharkiv. Tidak kurang dari 30 penerbit buku berkantor di kota itu. Vivat, salah satu penerbit di sana, mampu menerbitkan 400 ratus judul buku baru per tahun sebelum perang. Di tengah situasi sulit sekarang, mereka tetap menerbitkan buku meskipun pegawai mereka sudah berpencar untuk menyelamatkan diri. Mereka menggarap buku di tempat perlindungan dari bom. Pendapatan mereka turun sampai 90%, tetapi sedikit tertolong dengan penjualan hak cipta penerbitan buku di luar negeri (Literary Hub, 12/5/2022).
Sebagai bentuk solidaritas terhadap Ukraina, beberapa organisasi penerbit internasional, seperti Federasi Penerbit Eropa dan Asosiasi Penerbit Italia mengutuk serangan itu. Tidak hanya mengecam, penyelenggara Frankfurt Book Fair (FBF) menghentikan sementara kerja sama dengan lembaga bentukan pemerintah Rusia yang mengurus gerai bersama Paviliun Rusia di ajang pameran buku terbesar di dunia itu. Sekadar informasi, FBF tahun ini akan diselenggarakan pada 19–23 Oktober 2022. Sebelumnya, Bologna Children’s Book Fair (Maret 2022) dan London Book Fair (April 2022) digelar tanpa kehadiran penerbit dari Rusia. Bahkan, Institut Buku Ukraina menyerukan boikot atas semua produk budaya Rusia, terutama buku.
Sangat disayangkan, praktisi perbukuan di Eropa malah ikut berkonflik. Rasa cinta yang sama terhadap buku seharusnya membuat mereka semata-mata menentang perang, tanpa perlu memboikot semua penerbit dan buku dari Rusia. Pelarangan seperti itu hanya mempersulit orang yang sama-sama mencintai buku dan hidup dari buku.
Boikot terhadap semua penerbit buku Rusia di kancah perbukuan Eropa bisa dibilang reaksi berlebihan. Belum tentu mereka mendukung serangan negara mereka ke Ukraina. Belum tentu juga buku-buku yang mereka terbitkan mengandung unsur kebencian dan anti-Ukraina.
Di sisi lain, serangan militer Rusia yang menghancurkan banyak perpustakaan di Ukraina jelas-jelas merupakan kesalahan besar. Lebih buruk daripada itu, karena pada setiap lembar halamannya mengalir berjuta cahaya, sebagaimana dinyanyikan kelompok musik Efek Rumah Kaca, pelarangan dan penghancuran buku akibat konflik Rusia-Ukraina, dan konflik lain, sama dengan kemunduran jutaan langkah menuju kegelapan. Negara tanpa buku ibarat rumah tanpa jendela: sulit dimasuki cahaya.
Mohammad Sidik Nugraha, penyunting dan penerjemah buku