Serat Centhini disusun berdasarkan pandangan ke depan dan kesadaran tentang bakal runtuhnya kerajaan, kesultanan, dan kedatuan di Nusantara. Jika tidak ada ajaran yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya, bangsa ini akan lenyap di tengah zaman. Karena itu, raja yang berkuasa memerintahkan para pujangga istana untuk mengamati berbagai hal dalam masyarakat yang layak dicatat. Hasil amatan tersebut menjadi warisan untuk generasi mendatang: Serat Centhini.
Serat Centhini terdiri atas 12 jilid. Naskah aslinya ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa yang dipakai di Surakarta pada abad ke-19 (1814—1823) dengan tulisan tangan. Naskah tersebut berisi 708 pupuh (bait) tembang macapat yang puitik.
Buku di tangan Anda ini mengurai pupuh ke-105 hingga ke-151 dari Serat Centhini. Disajikan dalam sembilan bab, buku ini merangkum beragam pembahasan: Candi Borobudur dan candi-candi lain di Nusantara beserta seluk-beluknya; gairah seksual; keris dan tombak; gending dan katuranggan, jenis, dan fisiognomi kuda; hari baik dan buruk; anatomi kerbau; persiapan menjelang akad nikah; jagong manten; wali dan wayang; serta aneka kisah.
Ada banyak bagian teks Serat Centhini yang maknanya masih tersembunyi dan sarat istilah lokal yang sulit dipahami, termasuk ajaran orang-orang luhur masa lalu yang hanya disebut sepintas. Ada pula metafora dan perumpamaan yang indah, tetapi artinya mesti dibedah. Maka, buku ini hadir untuk membantu Anda memahami apa yang diwariskan leluhur bangsa sejak awal abad ke-19. Tujuannya, agar maknanya lebih dimengerti, ajarannya dapat dipahami, dan hikmahnya bisa diambil sebagai pijakan dalam menapaki kehidupan di masa depan, baik untuk diri sendiri maupun generasi muda Nusantara.
Dengan penguasaan prima atas kearifan Jawa dan kelincahan bertutur, Achmad Chodjim mengajak kita mengartikulasikan lebih jauh warisan tak ternilai ini untuk kemajuan, kesejahteraan, kejayaan, dan kemakmuran negara bangsa Indonesia.