MODERNITAS dengan semua perangkat pendukungnya cenderung mendorong manusia untuk hidup dengan menumpuk kepemilikan. Identitas dan kesadaran diri pun bahkan kemudian didefinisikan dalam kaitannya dengan sesuatu yang dimiliki.
Hidup dengan orientasi ’’memiliki’’ inilah yang oleh Erich Fromm disebut sebagai sumber masalah manusia modern. Keterasingan, keserakahan, dan krisis identitas adalah di antara dampak yang kemudian diderita oleh manusia modern.
Sumber menguatnya orientasi memiliki ini, menurut Fromm, adalah paradigma ekonomi pasar yang kapitalistik. Menurut paradigma ini, segala sesuatu dilihat sebagai komoditas.
Sesuatu itu dipandang dari segi nilai tukar atau nilai jualnya, bukan lagi nilai guna. Yang memprihatinkan, karakter pemasaran ini tak hanya berlaku untuk benda-benda, tapi juga manusia.
Buku ini merupakan kliping pokok-pokok pikiran Fromm yang langsung dipetik dari karya-karyanya dan sumber-sumber lain yang di antaranya belum pernah diterbitkan. Kerja editor buku ini, Rainer Funk, sungguh luar biasa dalam memilah, menyistematisasi, dan menyajikan ide-ide jernih dan kritis Fromm secara runtut dan bernas dengan merujuk pada tulisan-tulisannya.
Menurut Fromm, kala manusia dipandang sebagai komoditas, muncullah ’’pasar kepribadian’.’ Orang-orang, bahkan kemudian juga pranata sosial, berpikir dengan mengarahkan jalan hidupnya pada pembentukan kepribadian yang dibutuhkan pasar.
Seorang wiraniaga, guru atau dosen, sekretaris, manajer hotel, dan juga profesi-profesi lainnya, atas dasar kriteria yang dibuat pasar, kemudian kebanyakan secara tak sadar mengalami dirinya sebagai komoditas. ’’Orang tidak lagi menaruh perhatian pada hidup dan kebahagiaannya, tetapi pada bagaimana dia bisa laku dijual,’’ tulis Fromm.
Orang berburu kesuksesan dengan menyesuaikan diri menurut ukuran pasar. Orang-orang mencari nilai dalam konteks keterjualannya dan berdasar pengakuan orang lain (pasar). Inilah sumber penderitaan manusia modern.
Dalam paradigma modus eksistensi memiliki yang ditopang oleh kapitalisme, manusia modern banyak menempuh jalan sesat di berbagai aspek kehidupannya. Manusia modern, misalnya, digiring untuk berpikir bahwa dengan menumpuk barang dia akan dapat meraih kepuasan dan kebahagiaan. Namun, konsumerisme yang kompulsif ini hanya menempatkannya dalam lingkaran setan yang tak berkesudahan.
Produksi dibuat bukan lagi untuk konsumsi yang sehat. Karena itu pula, eksploitasi yang sering mengabaikan nilai kemanusiaan dianggap tidak masalah. Bahkan didukung oleh perangkat-perangkat sosial.
Demikian pula, dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya, manusia di era industrialisme modern terjebak pada berhala-berhala baru. Religiusitas yang humanistik yang bertolak dari kebutuhan eksistensial pada kerangka orientasi dan objek devosi sulit sekali mendapat tempat dalam sistem ekonomi pasar.
Muncul paganisme baru berupa pemberhalaan manusia. Manusia merasa mahatahu dan kemudian mengendalikan dan mengeksploitasi alam untuk menegaskan bahwa dirinya mahakuasa dan demi melayani kebutuhan sistem ekonomi pasar.
Saat ini modus eksistensi memiliki telah mewujud sebagai sikap dominan masyarakat dan bahkan telah menjadi karakter sosial. Dorongan untuk bersikap serakah, misalnya, diamdiam terbentuk secara sosial.
Sebagai karakter sosial, manusia digerakkan untuk berpikir, bertindak, mengembangkan ambisi. Juga, meraih prestasi, merepresi perasaan, dan juga merespons dengan cara tertentu sesuai dengan tuntutan ekonomi pasar.
Dalam situasi ini, untuk meraih modus eksistensi ’’menjadi’’, menurut Fromm, dibutuhkan kehendak yang kuat, keberanian, dan juga nalar kritis untuk keluar dari cengkeraman karakter dominan tersebut.
Buku ini menegaskan bahwa menjalani hidup itu harus dengan bekal sikap kritis. Buku ini memberikan pelajaran secara cukup terfokus tentang model bersikap kritis menjalani hidup di tengah berbagai problem hidup manusia modern yang salah orientasi.
[M. Mushthafa. Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep]
Dimuat di Jawa Pos, 15 Juli 2018