Dimuat di Jawa Pos, 2 September 2018
Karya kanonis Raymond Carver yang kali pertama terbit pada tahun 1981 ini telah menginspirasi lahirnya karya sastra lain. Haruki Murakami menulis memoar dengan judul What I Talk About When I Talk About Running (2007). Film Birdman (2014), peraih piala Oscar untuk film terbaik juga meminjam cerita Carver ini sebagai bagian dari film. Cerita Carver juga mengilhami beberapa judul lagu atau drama televisi. Di Indonesia sendiri, dapat ditemukan jejak pengaruh Carver pada film What They Don’t Talk About When They Talk About Love yang diproduksi oleh Mouly Surya pada tahun 2013.
Judul itu memang seksi dan mencuri perhatian. Lebih dari itu, ketika buku ini terbit, banyak kritikus melayangkan protes. Hal ini tidak lain karena ulah editor Raymond Carver, Gordon Lish. Cerpen yang semula diberi tajuk oleh Carver Beginners mengalami banyak perombakan di tangan Gordon. Sehingga beberapa kritikus menilai 50% rasa Carver telah tergerus. Gordon dianggap melakukan rewriting atas karya Carver dan menyisipkan di tengah tumpukan Carver.
Hal paling kentara adalah Gordon mengubah judul Beginners, menjadi judul yang sudah kita kenal. Mungkin judul tidak menjadi soal, karena juudl pilihan Gordon terbukti lebih laris. Namun Gordon juga mengubah nama tokoh dalam cerita yang semula Herb McGinnis, menjadi Mel McGinnis. Tak berhenti di sini, Gordon juga memangkas narasi. Ulah Gordon ini selain menuai kritik, juga mendapatkan ketidaksepakatan oleh pihak keluarga. Yang beberapa tahun kemudian terbit versi asli tanpa editing Gordon.
Terlepas itu, buku kumpulan cerpen ini menwarkan cara baru dalam meratapi kisah cinta yang berujung kandas. Tokoh-tokoh Carver digambarkan sebagai kelompok kelas menengah dengan persoalan rumah tangga, dan cinta yang datang dan pergi.
Misalkan dalam cerpen What We Talk About When We Talk About Love, empat sahabat –dua pasangan suami istri sedang minum gin dan air tonik sore-sore. Dan kemudian muncul pertanyaan bagaimana cinta sejati itu muncul. Terri, istri ketiga Mel, menegaskan bahwa cinta sejati tak lain adalah cinta yang bersifat spiritual. (hal.174) Tak penting bagaimana perilaku Ed, mantan suami Terri, asal cinta maka semua akan tertutupi.
Sedangkan Mel, berbeda pendapat. Mel lebih yakin cinta pada dasarnya adalah bersifat badaniyah. Cinta badani, impuls yang menggerakkanmuke seseorang istimewa, maupun cinta terhadap keberadaan orang lain. (hal.183)
Atau dalam cerpen Why Don’t You Dance?, Carver mengisahkan seorang lelaki yang mengeluarkan semua furniture tersebab kehilangan istri. Kemudian sepasang kekasih tertarik untuk membelinya.
Kisah Carver digambarkan dengan kalimat-kalimat pendek nan tajam. Seolah sebuah sabetan pedang, cepat namun menorehkan luka begitu dalam.
Hal inilah yang kemudian membuat banyak penikmat sastra menilai, prosa Carver adalah gaya minimalis. Tidak banyak diskripsi bendawi, bentangan alam, dan memberi ruang tafsir lebih luas ke pembaca.
Dalam prosanya Carver bahkan tidak perlu menggambarkan visual tokoh, bagaimana wujud dalam bayangan penulis. Carver juga tidak pernah memberi bocoran bagaimana suasana atau kelengkapan latar sebagaimana prosa kebanyakan.
Carver memberi ruang begitu lebar kepada pembaca untuk bukan hanya menafsirkan makna, melainkan juga membangun dunia untuk masing-masing cerita sesuai preferensi setiap pembaca.
Cerpen minimalis Carver menciptakan ketidakpastian interpretatif, yang meminta pembaca berkontribusi dalam pengayaan makna, sehingga akan tercapai mufakat di benak masing-masing pembaca. Bukan diselesaikan pada akhir cerita pendek. Bila dicermati akhir cerpan Carver selalu memberi ruang untuk diteruskan sendiri.
Hal ini justru menambah kesan subtil cerita. Kisah getir asmara yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat pendek nan tajam, menjadi semakin kuat menghunjam.
Tujuh belas cerpen dalam buku ini sekiranya cukup untuk mewarnai khazanah sastra Indonesia. Dengan gaya minimalis dan ruang tafsir yang luas, memberi pengalaman tersendiri bagi pembaca Indonesia. Tidak melulu soal judul Carver yang begitu menggoda, tapi cara cerita Carver akan ragam kesakitan cinta yang menarik untuk dianalisa. [TEGUH AFANDI, alumnus UGM dan editor buku.]